Senin, 26 Desember 2011 | By: Ulla Tours and Training Institute

Kampung Wayang di Pucung Wukirsari

Picture45



    Pucung merupakan sentra kerajinan tatah sungging kulit, khususnya wayang.
    Pucung berlokasi di Dusun Karangasem, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
    Tatah berarti mema­hat, sedangkan sung­ging artinya mewarnai. Jadi, tatah sungging adalah proses memahat dan mewarnai pada suatu media. Di Pucung, media yang digunakan adalah kulit sapi dan kerbau. Kulit-kulit ini lah yang nantinya dibuat menjadi wayang.
    Sejarah Pucung menjadi kampung peng­rajin wayang berawal dari kehadiran Mbah Atmo Karyo atau biasa disebut Mbah Glemboh, Lurah (kepala desa) Dusun Pucung pada tahun 1917, sebelum Pucung berubah nama menjadi Du­sun Karangasem.
    Pada zaman dulu, untuk menjadi seorang lurah harus mendapatkan pelatihan dari panewon (ke­camatan). Panewon memiliki hubu­ngan langsung dengan Keraton. Pelatihan­nya pun dibina langsung oleh Sultan. Pada masa itu, Sultan yang bertahta adalah Hamengkubuwono VII. Secara tidak langsung, Mbah Glemboh pun men­jadi abdi dalem Keraton.
    Karena kedekatannya dengan Sultan, Mbah Glemboh kemudian diberi tugas untuk merawat dan menjaga wayang keraton. Kemudian pada tahun 1918, Mbah Glemboh tertarik membuat wayang sendiri. Dirumahnya, Ia belajar menatah wayang, dibantu oleh empat orang tetangganya yaitu Mbah Reso Mbulu, Mbah Cermo, Mbah Karyo, dan Mbah Sumo.
Picture27     Awalnya, wayang kulit buatan Mbah Glemboh hendak dibawa ke keraton, untuk diperlihatkan kepada Sultan. Namun ditengah perjalanan, Be­landa melihat hasil karya tersebut lalu membeli semuanya. Ternyata tidak hanya Belanda yang tertarik, pemilik salah satu toko batik terkenal yang kebetulan melihat, membawa wayang itu, kemudian membeli dan memajang wayang Mbah Glemboh ditoko batiknya.
    Hingga tahun 1930, Mbah Glemboh masih membuat wayang bersama keempat temannya beserta anak-anak mereka. Kemudian pada tahun 1970, PT Sarinah (perusahaan BUMN di Jakarta) datang ke Yogyakarta dan tertarik dengan wayang kulit hasil karya warga Pucung. Lama kelamaan, wayang kulit Mbah Glemboh makin dikenal dan laris dibeli pelanggan.
    Banyaknya peminat wayang menginisiatif­kan warga Pucung untuk ikut mem­produksi tatah sungging wayang. Hingga sekarang, warga Pucung masih memproduksi wayang. Keahlian menatah wayang mereka dapatkan secara turun temurun.
Picture1a      Wayang Pucung makin tersohor setelah mengikuti Expo Non Migas pada tahun 1980, yang diselenggarakan oleh Presiden Soeharto. Saat expo berlangsung, banyak pengunjung yang meminta untuk dibuatkan desain kerajinan tatah sungging yang baru. Permintaan tadi disanggupi oleh para pengrajin. Sejak saat itulah, produk tatah sungging kulit Pucung ber­kembang. Tak hanya wayang, aneka produk seper­ti hiasan dinding, kaligrafi, pembatas buku, kap lilin dan lampu, pigura, kipas tangan, serta aneka souvenir kecil lainnya dibuat disini.
    Pucung yang mulanya hanya memiliki 5 orang pengrajin, kini 1.060 penduduknya bekerja sebagai pengrajin tatah sungging. Ada pula peng­usaha atau pengepul kerajinannya berjumlah 138 orang. Tiap pengusaha rata-rata mempekerjakan 5-10 orang pengrajin. Para pengrajin membuat kerajinan di rumahnya masing-masing. Setelah selesai, lalu diserahkan ke pengepul.
    Produk tatah sungging Pucung sudah me­rambah ke kota-kota besar seperti Bali, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang. Bahkan, eks­por ke Yunani, Turki, Jepang, dan Amerika. Mengikuti pameran merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan para pengrajin untuk meluaskan jaringan pasarnya.
    Sayangnya, kini banyak pengrajin yang mem­buat kerajinan sesekali. Hal ini disebabkan harga kulit sapi dan kerbau sebagai bahan baku makin melambung tinggi. Belum lagi, proses pengerjaan kerajinan tatah sungging memerlukan waktu yang cukup lama, yakni sekitar 3 bulan. Jadi, jika hari ini membuat kerajinan, belum tentu saat itu juga mereka mendapatkan uang.
 
PROSES PEMBUATAN KERAJINAN TATAH SUNGGING KULIT
Picture34
  1. Kulit direndam dalam air semalaman, dijemur, kemudian dibersihkan dari bulu-bulu yang ter­sisa. Setelah bersih, permukaan kulit diberi pola.
  2. Kulit dipahat sesuai pola. Alat yang digunakan adalah paku ukir dan palu.
  3. Setelah dipahat, kemudian kulit dilukis menggunakan cat khusus kulit. Se­belum di cat, kulit diamplas terlebih dahulu.
  4. Terakhir, kulit yang telah diwarnai difinishing (diberi tangkai untuk wayang dan kipas atau kerangka besi untuk kap lampu).

0 komentar:

Posting Komentar