Kamis, 24 November 2011 | By: Ulla Tours and Training Institute

Kasongan, Sentra Gerabah Terbesar DIY

 
    Sentra kerajinan gerabah “Kasongan” ter­letak di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Provinsi Yogyakarta. Jarak antara Kasongan dan Kota Yogya hanya 8 kilometer (15-20 menit waktu tempuh menggunakan mobil).

    Kerajinan gerabah telah di­tekuni oleh warga Kasongan sejak tahun 1675. Kerajinan gerabah dipilih karena sawah di Kasongan banyak mengan­dung tanah liat atau biasa disebut lem­pung. Awalnya, sebagian besar warga ber­profesi sebagai petani. Me­reka menyadari sawahnya mengandung lempung saat mereka membersih­kan sisa-sisa tanah yang me­nempel dikaki seusai bertani. Saat dikepal-kepal, ter­nyata tanah ini mudah dibentuk dan tak mudah retak. Lempung ke­mudian dipakai untuk mem­buat bermacam peralatan dapur, seperti coet atau cobek, mangkuk, anglo dan tungku. Selain itu, dahulu lempung juga digunakan anak-anak untuk bermain.


     Secara turun temurun, keahlian membuat ge­rabah diajarkan oleh generasi pendiri pada generasi penerus.

    Sekitar tahun 1875, selain untuk peralatan dapur, kerajinan gerabah berkembang fungsinya men­jadi hiasan rumah dalam berbagai bentuk, seperti guci dan vas bunga, tiruan buah-buahan juga tiruan aneka kepala binatang. Hingga saat ini, kerajinan gerabah kasongan terus berkembang bentuknya. Ada meja-kursi, hiasan genteng, dan lain-lain.

    Teknik yang digunakan dalam membuat ge­rabah antara lain teknik putar dan cetak. Produk gerabah yang memakai teknik putar seperti anglo, tungku, guci, vas, dan lain-lain. Sedangkan produk gerabah yang dicetak yaitu aneka bentuk patung.

    Umumnya, para wanita di Kasongan bertu­gas mem­­bentuk tanah liat menjadi produk men­tah. Sedangkan, para lelaki bertugas menjemur, mem­bakar hingga finishing.

    Pada tahun 1971, seorang seniman Yogya, Sapto Hudoyo, membina pengrajin gerabah dalam mengkreasikan gerabah men­jadi kerajinan yang bernilai seni. Pembinaan ini membuahkan kreasi gerabah yang unik dan tidak monoton seperti sebelumnya. Nilai jualnya juga menjadi lebih tinggi.

    Jumlah pengrajin yang semula hanya 4 orang, kini berkembang menjadi ribuan orang. Pertam­bahan jumlah pengrajin pun semakin meningkat sejak di­bangunnya jalan dan jembatan oleh pe­merintah, sekitar tahun 1970. Pengrajin gerabah jadi lebih mudah me­masarkan produknya, pem­beli pun mulai data­ng langsung ke Kasongan.

    Seiring banyaknya pembeli yang datang, show room kerajinan pun banyak bermunculan. Tak hanya gerabah, kerajinan lain seperti patung, tas, anyaman bambu, dan rangkaian bunga kering, yang berasal dari bantul bahkan klaten, terpajang di toko-toko di sepanjang jalan Kasongan. 

    Saat ini, ada sekitar 50 orang penge­pul (pengusaha) gera­bah kelas menengah, dengan sis­tem kerja borongan. Tiap pengepul rata-rata mempe­kerja­kan 6-15 orang peng­rajin. Selain itu, ada pula 4 orang pengusaha besar, yang mempekerjakan 50-100 pengrajin.

   Pengrajin sisanya membuka usaha masing-masing (perorangan), tanpa mempekerja­kan tenaga lain dan hanya memproduksi gerabah dalam skala kecil. Selain menyerap pengrajin di Kasongan dan desa sekitarnya, usaha kerajinan gerabah ini pun menyedot pengrajin dari luar kota, seper­ti Brebes.

    Tiap tahunnya (dari tahun 2008-sekarang), 40 kon­tainer gerabah kasongan di kirim ke luar negeri, antara lain Malaysia, Singapura, Amerika, Jepang, Korea, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya. Sekitar tahun 1990an, permintaan ekspor gerabah pernah mencapai 2x lipat dari sekarang. Namun pesanan mulai menurun pada tahun 1997 akibat krisis moneter, dan sempat lumpuh total saat gempa bumi di tahun 2006.

0 komentar:

Posting Komentar